Cinta Remaja - Hiperealitas - Kedzaliman

Posted by Unknown on 18.14 with No comments

Oleh : Azeza Ibrahim Rizki, Pengamat Budaya Komunikasi

Kasus pembunuhan terhadap Ade Sara Angelina Suroto (19) yang dilakukan oleh sepasang kekasih, yakni Ahmad Imam Al Hafid (19) dan pacarnya Assyifa Ramadhani (19) seolah menampar wajah seluruh pemuda Indonesia. Bagaimana tidak, remaja Indonesia seolah sudah kehabisan prestasi dan kebanggaan. Tawuran, narkoba, pergaulan bebas, bullying dan sejuta permasalahan lainnya sudah menjadi nafas sehari-hari remaja kita.

Dan sayangnya, sebagai masyarakat dengan kultur pop yang kuat kita selalu berhenti di wacana normatif, permintaan maaf penuh basa basi, penegakan hukum asal-asalan, dan yang paling marak adalah mencurahkan hujatan lewat berbagai media sosial atas kondisi yang ada.


Jika kita mau untuk sekedar menoleh ke belakang, maka sungguh sangat nyata bahwa keadaan sosial dimana kita beradalah yang melahirkan pembunuh muda berdarah dingin itu.


Sembilan belas tahun adalah umur dimana masa depan tampak begitu cerah, berbagai kesempatan terbuka lebar, berbagai jenis prestasi menanti. Tapi lihatlah apa yang kemudian difikirkan pemuda dalam kisaran umur Sembilan belas tahun.


Pasti urusan cinta, jika ada yang membantah, anda mungkin masih terlalu muda atau terlalu tua sampai lupa. Entah berapa banyak waktu yang dihabiskan pemuda Sembilan belas tahun kita untuk membahas hal yang itu-itu saja, "aku cinta padamu, apakah kau mencintaiku juga?"


Kita bisa sepakat jika pada umur yang sedemikian, perkembangan hormonal remaja seolah menggiring mereka untuk menjadi lebih ingin tahu tentang lawan jenisnya. Tapi yang jadi permasalahan adalah bagaimana sistem sosial kita yang ada saat ini menampung dan menempatkan remaja dengan hormon meledak-ledak ini dalam masyarakat.


Cinta Remaja dan Hiperealitas


Sejak dahulu memang beginilah cinta, deritanya tiada pernah berakhir

Kata-kata di atas tidak hanya masyhur diucapkan oleh banyak orang di Indonesia, tapi juga diimani sebagai pemaknaan yang akurat akan arti cinta. Tidak percaya? Silakan anda sampaikan kata-kata bertulis miring diatas kepada remaja-remaja yang patah hati. Ada jaminan bahwa hampir 100% pemuda yang disodori statement diatas akan berkata “Betul kata-kata itu”.

Kata-kata dari tokoh rekaan yakni Panglima Tian Feng alias Ti Pat Kay dari sinema berseri “Kera Sakti” telah terbukti berhasil menanamkan konsep di kepala orang-orang Indonesia bahwa cinta identik dengan penderitaan. Lalu apa jadinya hidup jika kita memaknai cinta sebagai penderitaan?


Celakanya, bukan hanya Panglima Tian Feng yang telah menanamkan konsep cinta dengan isi yang salah di kepala orang-orang Indonesia.


Sekarang anda bisa hitung, ada berapa sinetron, ftv, reality show, video klip musik, dan novel yang mengusung tema cinta. Dan dari sekian banyak kumpulan itu, silakan anda sortir berapa banyak konsep cinta yang disampaikan dengan cara yang baik dan konsep yang benar. Dan jangan bingung jika anda hanya menemukan hasil sortiran yang sedikit.


Era Postmodernisme dengan kekhasannya yang anti otoritas dan ambigu telah melahirkan sebuah gegar budaya lewat Hiperealitas. Karena anti otoritas (yang artinya anti akan kebakuan, keaslian, dan keutuhan sesuatu) orang-orang diajak untuk tertarik pada hal-hal yang sifatnya jauh dari kenyataan.


Ketika anda memasuki panggung diorama di Museum Nasional, rasanya kita berada dalam peristiwa sejarah itu sendiri, panca indera kita dimanipulasi sedemikian rupa sehingga emosi kita tergerak untuk meyakini bahwa pengalaman kita berada dalam diorama tersebut adalah pengalaman sejarah yang sangat asli, bahkan mungkin kita merasa bahwa perasaan kita lebih autentik daripada kejadian sejarah yang sebenranya.


Contoh lain. Jika anda adalah penggemar film, seringkali anda kan lebih tertarik versi 3D nya daripada versi standart. Alasannya sederhana, film-film versi 3D terkesan lebih nyata, lebih real, lebih hidup. Padahal jika kita renungkan pada dasarnya, film itu sendiri sudah jauh dari kenyataan, lalu untuk apa menikmati sesuatu yang jauh dari nyata dengan cara yang “lebih nyata” . Absurd.


Hiperealitas adalah suatu konsep yang menjelaskan fenomena dimana manusia gemar membuat sebuah copy dari kejadian, sosok, peristiwa dalam ruang dan waktu dan kemudian mengangapnya lebih nyata dari kenyataan yang sebenarnya. Sederhananya ini adalah konsep yang menjelaskan kenapa banyak orang yang menganggap patung Michel Jakcson terlihat lebih hidup daripada Michel Jackson yang asli hidup. Lebih sederhananya lagi adalah fenomena dimana bayang-bayang dianggap kenyataan.


Disinilah cinta remaja kita berada, di alam Hiperealitas. Bayangkan apa jadinya jika remaja-remaja kita ditawarkan konsep tentang cinta palsu yang dikemas sedemikian nyata lewat media, entah itu film, music atau bahkan novel secara terus menerus.


Maka jangan heran jika pemuda kita banyak terjangkit peterpan syndrome dan pemudi kita menderita cinderella complex. Dua gangguan kejiwaan ini sebenarnya berakar dari gagalnya para pemuda untuk melihat kenyataan dengan cara pandang yang baik dan benar.


Dekatnya Pemuda Kita dengan Kedzaliman


Kita seringkali memahami dzalim sebagai perbuatan buruk yang merugikan orang lain. Padahal Dr. Hamid Fahmi Zarkasy, M.A, M.Phil dalam acara seminar pemikiran Islam kerjasama Institute  for The Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST)  dan Program Kaderisasi Ulama Institute Studi Islam (PKU ISID) Gontor, menyatakan bahwa makna dzalim adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan menempatkan sesuatu pada tempatnya disebut dengan ‘adl atau adil.

Remaja, dengan jumlahnya yang sedemikian besar merupakan pangsa pasar yang menjanjikan bagi beraneka industry. Industry bukan lembaga moral, maka jangan heran jika mereka hanya mengejar profit tanpa peduli ekses negative yang muncul ditengah pasar utama mereka yakni remaja. Dan industry paham bahwa persoalan cinta akan selalu hangat di kalangan para remaja.


Kultur Pop yang berkembang di Indonesia memiliki ketergantungan kepada media massa sebagai stabilizer isu, sementara media massa bergantung pada Industry yang menyuplai mereka dengan dana melalui iklan, sedangkan industry dibimbing oleh para pakar marketing agar produk mereka laris, dan pakar marketing ini disekolahnya dulu dibentuk lewat sistem pendidikan yang berasas pada ideology postmodernisme yang anti otoritas. Lingkaran setan kedzaliman yang klop satu sama lainnya.


Hati yang seharusnya menjadi tempat bagi kecintaan terhadap Allah sebagai pusat segala sesuatu telah dengan dzalimditukar dengan cinta pada kefanaan. Sungguh besar kedzaliman yang pemuda kita lakukan.


Tanpa bekal iman, ilmu dan amal yang dipersiapkan dengan baik, maka jangan heran jika pemuda kita terjebak dalam pusaran kedzaliman. Entah karena efek dari luar, berupa sugesti dan godaan, atau justru efek dari dalam karena absennya iman, ilmu dan amal yang bekerja secara berkesinambungan.
Tiada salahnya jika kita mengulangi peringatan dari Syekh Ahmad Al Khatib kepada pemuda Indonesia agar mengingat dan memahami kematian sebagai fondasi menanamkan iman dalam jiwa. Dan bagi para orangtua agar makin menguatkan taqwanya kepada Allah subhanahu wata’ala atas titipan luar biasa bernama anak sebab kullu ro’in mas’uulun ‘an ro’iyyatihi, karena setiap penanggung jawab akan dimintai tanggung jawabnya atas apa yang dikuasakan terhadapnya.


Dan jika kita tetap lalai akan fenomena kedzaliman ini, sungguh Allah SWT tiada perlu menurunkan ‘adzab dari langit, sebab secara pasti, masyarakat yang memelihara kedzaliman adalah masyarakat yang berproses menuju bunuh diri dan kerusakan massal.